Tour Solo – Malam Satu Suro yang jatuh pada tanggal 1 Muharram dalam kalender Hijriyah merupakan salah satu malam yang paling sakral dalam budaya Jawa. Di Keraton Surakarta Solo terdapat ritual peringatan Malam Satu Suro yang telah dilakukan secara turun-temurun.
Tradisi ini menggabungkan elemen-elemen budaya, sejarah, dan kepercayaan lokal, sehingga menjadikannya sebuah acara yang penuh dengan makna simbolis dan mistis. Keraton Surakarta memainkan peran kunci dalam melestarikan dan mempraktikkan ritual Malam Satu Suro.
Berbagai upacara di Malam Satu Suro berlangsung dengan penuh khidmat yang melibatkan keluarga kerajaan, abdi dalem dan masyarakat. Setiap tahunnya, acara ini menarik perhatian banyak orang, mulai dari dalam negeri maupun mancanegara.
Penasaran dengan fakta-fakta unik mengenai pelaksanaan Kirab Malam Satu Suro di Keraton Surakarta, dan bagaimana prosesinya, yuk, simak artikel berikut!
Sejarah dan Asal Usul Perayaan Malam Satu Suro
Sejarah perayaan malam 1 Suro bisa ditelusuri kembali ke masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Mataram. Sultan Agung adalah seorang penguasa yang memiliki visi besar untuk menyatukan rakyat Jawa dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda di Batavia.
Sultan Agung memiliki keinginan untuk menyatukan berbagai kelompok dalam masyarakat Jawa, termasuk kelompok santri yang religius dan abangan. Caranya yaitu dengan menetapkan bahwa setiap Jumat Legi akan ada pengajian oleh para penghulu kabupaten.
Sebagai hasilnya, Malam Satu Suro menjadi malam yang penuh dengan ritual dan refleksi di Solo yang penuh dengan berbagai kegiatan spiritual, seperti doa bersama, meditasi, dan upacara adat. Hari ini bahkan dianggap sial jika digunakan untuk keperluan di luar kegiatan mengaji, ziarah, dan haul.
Baca Juga: Tempat Bersejarah di Solo
Arak-Arakan Kebo Bule
Salah satu prosesi yang paling menonjol dalam ritual Malam Satu Suro adalah kehadiran kebo bule atau kerbau albino yang terkenal dengan nama Kyai Slamet. Kebo bule Kyai Slamet bukan sekadar binatang biasa. Nama tersebut mengabil dari salah satu pusaka berbentuk tombak milik Keraton Solo.
Pakubuwono X sering membawa Tombak Kyai Slamet berkeliling tembok Baluwarti setiap hari Selasa dan Jumat Kliwon, dua hari keramat dalam tradisi Jawa. Pakubuwono X akhirnya memberi nama kebo bule yang setia mengikutinya saat menjalani ritual tersebut dengan nama Kyai Slamet.
Sejarah kebo bule Kyai Slamet bermula ketika Pakubuwono II menerima hadiah dari Bupati Ponorogo, yaitu Kyai Hasan Besari Tegalsari. Hadiah tersebut berupa seekor kebo bule dan pusaka tombak Kyai Slamet.
Setiap peserta kirab Malam Satu Suro, peserta wajib mengenakan pakaian warna hitam. Peserta kirab laki-laki mengenakan pakaian adat Jawa berwarna hitam atau busana Jawi jangkep. Sementara itu, peserta kirab wanita mengenakan kebaya berwarna hitam.
Barisan kirab dimulai dengan kebo bule Kyai Slamet dan pawangnya yang berada di paling depan. Keberadaan kebo bule di barisan terdepan menjadi simbol perlindungan dan keberkahan.
Setelah barisan kebo bule, para abdi dalem mengikuti di belakangnya, kemudian putra putri raja, dan kerabat Keraton Solo yang membawa sepuluh pusaka keraton. Setiap pusaka ini memiliki makna dan sejarah tersendiri yang menambah kekhusyukan dari prosesi kirab Malam Satu Suro.
Amalan yang Dilakukan
Pada Malam Satu Suro, masyarakat melaksanakan berbagai ritual untuk menghormati tradisi dan menyucikan diri. Salah satu ritual Malam Satu Suro adalah siraman, yaitu mandi besar menggunakan air bercampur kembang setaman.
Siraman tidak hanya sekadar mandi biasa, tetapi memiliki makna mendalam sebagai bentuk “sembah raga”. Ritual ini bertujuan untuk menyucikan tubuh sebagai bagian dari acara seremonial yang menandai mulainya tirakat sepanjang bulan Suro.
Pelaksanaan siraman dilakukan dengan mengguyur tubuh dari ujung kepala hingga sekujur badan sebanyak tujuh kali dengan gayung. Angka tujuh dalam bahasa Jawa yaitu “pitu” yang melambangkan doa agar Tuhan memberikan “pitulungan” atau pertolongan.
Selain siraman, malam Malam Satu Suro juga identik dengan prosesi kirab kemudian ritual tapa bisu, yaitu berjalan tanpa berbicara satu sama lain. Tapa bisu ini melambangkan perenungan diri terhadap segala hal yang telah terjadi selama setahun terakhir.