Paket Wisata Jogja Masyarakat Jawa Tengah melestarikan berbagai tradisi yang tetap hidup hingga kini. Mereka menjalankan adat istiadat di setiap tahap kehidupan, mulai dari kelahiran, pernikahan, hingga kematian. Keberagaman tradisi ini mencerminkan kuatnya nilai-nilai budaya yang terus diwariskan dari generasi ke generasi.

Tradisi sendiri merupakan rutinitas yang dijalankan dan diwariskan secara konsisten oleh suatu kelompok masyarakat. Nilai-nilai budaya ini turun-temurun dari nenek moyang dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial. Dengan menjaga dan menjalankan tradisi, masyarakat tidak hanya mempertahankan identitas budaya tetapi juga mempererat hubungan antarwarga.

Kebudayaan memiliki banyak aspek, mulai dari adat istiadat, kebiasaan sosial, hingga praktik keagamaan. Keberlanjutan suatu tradisi sangat bergantung pada peran aktif masyarakat dalam melaksanakan upacara-upacara adatnya. Ketika tradisi tetap dijalankan, nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya akan terus hidup dan diwariskan ke generasi berikutnya.

Jika suatu tradisi tidak lagi dijalankan, maka budaya tersebut akan perlahan menghilang. Oleh karena itu, melestarikan adat istiadat Jawa Tengah menjadi tanggung jawab bersama. Memahami keberagaman budaya ini dapat membantu kita untuk lebih menghargai dan menjaga warisan leluhur. Mari mengenal lebih dalam beberapa tradisi khas Jawa Tengah dan bagaimana perannya dalam kehidupan masyarakat.

Upacara Ruwatan 

Credit: Kompas[dot]com

Kata ‘luwar’ yang berarti membebaskan atau melepaskan, melahirkan istilah ‘ruwatan’, sebuah upacara adat yang suku Jawa dan Bali lakukan sebagai ritual penyucian. Tradisi ini mengharuskan seseorang yang memiliki beban menjalani ritual agar melepaskan diri dari pengaruh buruk yang membahayakan hidupnya.

Masyarakat mengadakan upacara ruwatan dengan tujuan utama memohon keselamatan dan perlindungan dari bahaya. Mereka sering mengadakan ritual ini untuk anak-anak berambut gimbal, yang dipercaya bisa membawa kesialan jika tidak diruwat. Mereka meyakini bahwa dengan menjalani ruwatan, anak-anak tersebut dapat terhindar dari nasib buruk dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Tradisi ini tidak sekadar memotong rambut, tetapi juga menjadi simbol pelepasan dan penyucian diri. Salah satu momen penting dalam prosesi ini adalah pemotongan rambut yang diikat dengan tali sirih oleh tetua adat. Ritual ini dipercaya dapat memutuskan hubungan anak dengan pengaruh negatif atau hal-hal berbahaya yang mungkin mengikutinya.

Sebelum memotong rambut anak gimbal, mereka harus memenuhi permintaannya. Masyarakat percaya bahwa keinginan anak tersebut merupakan titipan dari nenek moyang. Jika mereka tidak memenuhi keinginan ini, mereka meyakini anak bisa jatuh sakit dan rambut gimbalnya akan tumbuh kembali. Setelah memotongnya, mereka menghanyutkan rambut tersebut ke Telaga Warna atau melayangkannya sebagai bagian dari prosesi Ruwatan.

Tradisi Sadranan 

Credit: Kalurahan IMOGIRI

Tradisi Sadranan atau Nyadran merupakan budaya yang berkembang di Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur untuk menyambut bulan Ramadan. Masyarakat menjalankan tradisi ini sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan persiapan menyambut bulan suci. Istilah Nyadran berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu “Sraddha,” yang berarti kepercayaan.

Tradisi ini berkembang dari upacara Sraddha dalam ajaran Hindu yang telah ada sejak zaman dahulu. Masyarakat Jawa melaksanakan Upacara Sadran setiap bulan Ruwah dalam kalender Hijriyah, tepat sebelum Ramadan dimulai. Prosesi ini menjadi momen penting bagi masyarakat untuk mengenang dan mendoakan leluhur.

Selama pelaksanaannya, masyarakat melakukan ziarah kubur dengan mendatangi makam keluarga dan menabur bunga atau yang dikenal dengan istilah “nyekar” di Jawa. Selain itu, mereka juga membacakan doa sebagai bentuk penghormatan dan permohonan berkah bagi para leluhur.

Tradisi Sadranan tidak hanya diikuti oleh umat Islam, tetapi juga terbuka bagi pemeluk agama lain sebagai bentuk toleransi dan penghormatan terhadap budaya setempat. Kehadiran berbagai lapisan masyarakat dalam tradisi ini menunjukkan eratnya nilai gotong royong dan kebersamaan antarumat beragama.

Baca juga: Festival Unik yang Wajib Kamu Kunjungi di Jogja !

Upacara Tedak Siten 

Credit: suara[dot]com

Tedak Siten merupakan tradisi adat Jawa yang menandai fase perkembangan anak dari belajar duduk ke tahap belajar berjalan. Tradisi ini telah dikenal luas dan tetap dilestarikan hingga saat ini. Sebagai bagian dari budaya, Tedak Siten memiliki makna mendalam bagi keluarga yang menjalaninya.

Prosesi Tedak Siten biasanya dilakukan ketika anak berusia tujuh bulan. Upacara ini bertujuan agar sang anak tumbuh menjadi pribadi yang mandiri di masa depan. Dalam pelaksanaannya, berbagai rangkaian simbolis dilakukan untuk memberikan makna tersendiri dalam perjalanan hidup anak.

Istilah “Tedak Siten” berasal dari bahasa Jawa, yaitu “tedhak” yang berarti turun dan “siti” yang berarti tanah. Dengan demikian, upacara ini dikenal sebagai upacara turun tanah. Prosesi ini melambangkan peralihan anak dari fase bayi menuju tahapan awal kehidupan yang lebih mandiri.

Tedak Siten juga melibatkan keluarga dan kerabat terdekat yang hadir untuk memberikan doa serta harapan baik bagi anak. Kehadiran mereka bukan hanya sebagai saksi, tetapi juga sebagai bentuk dukungan agar anak terhindar dari marabahaya dan tumbuh dengan baik di bawah bimbingan orang tuanya.